Apa targetmu tahun ini?
Salah satu target saya adalah membaca buku: satu bulan satu buku. Enggak muluk-muluk. Setelah tahun lalu nyaris enggak menamatkan satu buku pun—meski banyak buku yang dibaca sebagian—sepertinya ini target paling masuk akal yang masih bisa saya raih. Mudah-mudahan tahun depan jika kebiasaan baik ini sudah ajek, saya bisa meningkatkannya menjadi … 20 buku setahun mungkin? Yah, pokoknya kerjakan yang sekarang saja dulu, deh. One step at a time.
Mengapa akhirnya tahun ini saya membuat target membaca? Saya pernah curhat di akun Instagram. Bunyinya begini:
Berpuluh purnama belakangan aku payah banget soal membaca buku (buku anak nggak dihitung 😆). Dibandingkan menamatkannya, aku lebih sering berhenti di tengah. Padahal hasrat untuk membeli buku baru nggak pernah padam. Dengan kecepatan keduanya yang nggak seimbang, alhasil ada tumpukan buku yang bahkan sebagian masih terbungkus plastik 😌. Ada yang sama?Untuk menyalahkan keadaan rasanya enggan karena di luar sana pasti banyak ibu dengan kondisi serupa (anak lebih dari satu, tanpa ART, merantau) bisa membaca sampai selesai. Mungkin aku aja yang nggak pandai mengelola waktu sehingga selalu merasa nggak ada kesempatan untuk membaca dengan tenang.Dulu pernah ada masa aku membawa novel ke kampus karena penasaran dengan kelanjutan ceritanya. Malangnya, novel itu menjadi korban air minum yang tumpah di dalam tas 😭. Rasanya sedih bukan main. Kertasnya yang seperti kertas buram jadi bergelombang permanen meski aku sudah berusaha mengeringkannya lembar per lembar.Untungnya, aku dan buku nggak pernah benar-benar berpisah ❤️. Selalu ada keinginan untuk kembali masyuk berdua-duaan tanpa ada gangguan. Seiring dengan kembalinya aku ke dunia tulis-menulis tahun lalu, dorongan untuk membaca pun menguat. Konon jika ingin menjadi penulis hebat, jadilah pembaca yang baik. Jika ingin menjadi pencerita yang hebat, jadilah penonton yang baik. Gimana bisa lancar menuangkan pikiran, kalau kita nggak punya bank kosa kata yang melimpah, serta rasa berbahasa yang kaya?
Jawabannya karena saya mulai aktif menulis kembali! Memang, sih, untuk membaca enggak perlu punya alasan yang berhubungan dengan dunia kepenulisan. Membaca karena suka membaca? Boleh banget. Namun, jika memiliki ketertarikan dengan aktivitas menulis, alangkah baiknya juga disertai dengan kegiatan membaca supaya tulisan kita bernas (enggak kayak kerupuk putih yang besar, tapi ringan, atau kerupuk kulit yang gendut, tapi kopong).
Sebagai bentuk refleksi, saya akan mengulas setiap buku yang saya baca. Sebenarnya saya sudah menuliskan beberapa di antaranya di akun Instagram (go check @mutilaksmi), tetapi di sini saya akan membuat versi lengkapnya. Uhuy!
Tentang buku
Buku pertama yang saya baca tahun ini berjudul The Happiest Kids in the World: Bringing Up Children the Dutch Way karya Rina Mae Acosta dan Michele Hutchinson. Keduanya adalah ekspatriat yang menikah dengan pria Belanda dan menetap di Low Countries (sebutan untuk negeri yang berada di bawah permukaan laut ini). Rina adalah wanita keturunan Filipina yang lahir dan besar di Amerika Serikat, sedangkan Michele berasal dari Inggris.
Keduanya menceritakan pengalaman, pandangan, dan hasil wawancara tentang hal-hal yang (mungkin) menjadi penyebab anak-anak Belanda dinobatkan sebagai yang paling bahagia di dunia. Banyak hal berbeda, bahkan bertentangan dengan apa yang mereka temui di negara asal (AS dan Inggris) atau dengan cara mereka dibesarkan dulu. Hal tersebut otomatis mempengaruhi cara mereka mendidik dan membesarkan anak. Di buku ini mereka bercerita bagaimana pendekatan yang kemudian mereka ambil sebagai orang tua.
Topik-topik yang Belanda banget
Buku ini terdiri dari 13 bab ditambah dengan 1 bab kesimpulan. Topik-topiknya menarik dan sangat “Belanda”. Sebagai contoh, penulis bercerita tentang pengalaman bersepeda dengan sepeda bergerobak (bakfiets) yang umum ditemui di Belanda di bab “Biking through the Rain”. Selain itu, ada bab “It’s All about the Hagelslag” tentang kebiasaan anak-anak makan meses untuk sarapan dan pentingnya berkumpul bersama saat waktu makan.
Rahasianya bermula bahkan sebelum anak lahir
Bab “Mothering the Mother” berisi tentang pengalaman penulis sekaligus cara pandang orang Belanda tentang proses melahirkan dan perawatan pascamelahirkan. Sebagai yang punya pengalaman dua kali melahirkan di Belanda, I can relate with this so much. Karena proses hamil dan melahirkan dipandang secara proses alamiah, pendekatan yang diambil pun humanis. enggak heran bila homebirth adalah pilihan yang lazim.
Cara pandang ini juga yang menyebabkan kebijakan ibu hamil ditangani oleh bidan, alih-alih dokter Sp.OG seperti di Indonesia. Dokter Sp.OG hanya menangani ibu hamil dengan keluhan medis. Itu pun atas rekomendasi bidan atau dokter umum. Kapan-kapan saya mau cerita soal ini, ah.
Selain itu ada yang namanya kraamzorg, yaitu fasilitas khusus untuk ibu dan bayi baru lahir (dan ikut dinikmati seluruh keluarga) yang dibiayai asuransi. Pengalaman Rina soal kraamzorg mirip dengan pengalaman saya dulu. Ada seseorang untuk membantu mengurus bayi dan melakukan pekerjaan domestik meski hanya beberapa jam, itu luar biasa, apalagi bagi saya yang enggak dikelilingi support system selain suami waktu itu. Menurut saya kraamzorg adalah hadiah dari negara untuk setiap ibu di Belanda.
Kesederhanaan melahirkan kebahagiaan
Kemudian, di bab “The Simple Life” penulis mengemukakan hasil pengamatannya terhadap kebiasaan orang Belanda yang senang berkemah dan berpesiar dengan perahu pribadi bersama keluarga. Ternyata itu berakar dari sifat dasar orang Belanda yang irit, sederhana, dan enggak neko-neko. Irit, lo, bukan pelit (walau bedanya tipisss).
“In Moet Kunnen, Herman Pleij typifies the Dutch as doodgewone mensen (dead-normal people). There is a strong urge to keep everyone on the same level.” (Hal. 190)
Di Belanda, ada kecenderungan untuk menjaga setiap orang pada level yang sama, enggak ada yang kelihatan mentereng banget dan enggak ada yang kelihatan miskin banget. Ini bahkan tercermin dari perdana menterinya yang sering tertangkap kamera bersepeda ke kantor. Beneran merakyat, bukan mengundang juru kamera demi pencitraan . #ups
Mirip dengan anak Indonesia
Pada bab "A Childhood of Freedom" saya menemukan hal yang mirip dengan anak-anak Indonesia. Di Belanda anak-anak usia sekolah boleh bermain di luar rumah tanpa pengawasan orang tua, tentunya dengan kesepakatan jam kembali ke rumah, ya. Ini sama banget, kan, dengan di Indonesia? Siapa yang dulu suka keluyuran? Meski begitu, meningkatnya angka kejahatan di Indonesia, terutama di kota besar, belakangan ini mau enggak mau membuat orang tua khawatir untuk melepas anaknya bermain sendiri. Tampaknya saya pun akan begitu, deh, nanti.
Oh iya, menurut Michele, bukan berarti di Belanda enggak ada kejahatan. Kejahatan ada di mana-mana, tetapi media di Belanda enggak memberikan perhatian berlebihan dan enggak melebih-lebihkan (seperti di Inggris, negara asal Michele). Masyarakat enggak disuguhi berita-berita horor setiap saat sehingga rasa aman pun terbangun dan orang tua lebih rileks untuk melepas anak-anaknya di luar rumah.
Pandangan tentang teen sex
Yang membuat saya tercengang.adalah bab "Dutch Teenagers Don’t Rebel". Mengapa? Karena isinya berlawanan dengan aturan dan nilai-nilai yang saya anut, misalnya, soal having (first) sex under your parents roof. Pendekatan yang sama berlaku untuk drugs dan prostitusi (ingat Red Light District Amsterdam?).
“Simon Kuper wrote a perceptive article for the Financial Times … ‘Dutch parents treat teen sex much as Dutch society treats drugs or prostitutions: permit it, hug it close, control it.’” (Hal. 255)
Saya jadi ingat cerita Ust. Bendri di salah satu kajian. Beliau pernah menginap di rumah seseorang saat sedang safari dakwah di luar negeri (saya lupa negara apa). Katanya ada anak laki-laki yang lewat dan sikapnya menarik perhatian beliau. Saat ditanya kepada tuan rumah, ternyata anak tersebut bukan anaknya melainkan teman laki-laki anaknya. Tuan rumah enggak bisa menolak atau mengusir karena takut berurusan dengan aparat hukum setempat. Hmm ....
Yang saya suka dan kurang suka dari buku ini
Karena buku ini adalah hasil kolaborasi dari dua penulis, kita akan menemukan dua sudut pandang yang berbeda dalam setiap bab. Uniknya, font yang dipakai untuk menuliskan bagian Michele dipilih yang lebih tebal. Kita akan dengan mudah mengenali perpindahan sudut pandang walau di beberapa judul subbab sudah tertera nama Rina atau Michele.
Yang saya suka, keduanya tidak hanya menuliskan pengalaman pribadi dan pengamatan mereka pribadi, tetapi juga memperkayanya dengan mewawancarai pihak-pihak yang berkompeten dan mengutip literatur lain. Hal ini bertujuan untuk memvalidasi teori soal penyebab kebahagiaan anak-anak Belanda. Kalau dipikir-pikir, buku ini seperti tesis riset kualitatif yang disajikan dalam bentuk santai dan naratif. Mantap!
Hal menarik lain adalah di setiap bab ada kotak berisi info, tips atau pengalaman khusus terkait topik bab yang diselipkan di antara teks isi. Ini memberikan warna sekaligus menyegarkan. Sebagai contoh, di bab "The Real Happiest Babies on the Block" ada info tentang Bugaboo. Merk stroller premium ini ternyata didesain oleh orang Belanda, lo!
Membaca lembar demi lembar buku ini sama sekali enggak membosankan. Salah satu penyebabnya adalah bumbu-bumbu humor yang dituliskan Rina dan Michele. Humornya cerdas, meski beberapa membutuhkan pengetahuan tambahan. Misalnya begini,
… teenage boys, as well as girls, now shave off their pubic hair. (I can’t wait for Ben to get his first Brazilian.) (hal. 260, “Dutch Teenagers Don’t Rebel”)
Karena saya tahu tentang Brazilian wax (ini juga setelah menikah!), saya jadi bisa paham humor ini. Untuk yang enggak tahu, pasti enggak nyambung, deh.
Kalaupun ada yang kurang saya sukai, mungkin saya harus berdamai dengan bahasa Inggris-nya. Ha-ha-ha. Banyak istilah baru yang belum saya tahu dan saya harus bolak-balik mengetiknya di Google Translate (bukan membuka kamus fisik lagi) untuk bisa memahami konteks kalimat. Yah, ini memang karena saya sudah lama enggak membaca buku berbahasa Inggris, sih. Jadi, habis ini hunting buku di Amazon, deh. #eh
Nilai
Saya memberi 4.5/5 bintang. Setengah bintang kurang dari sempurna karena kesempurnaan hanya milik Allah. He-he-he.
Penutup
Untuk saya yang sekarang tinggal di Belanda, isi buku ini sangat berhubungan dengan yang saya alami dan amati sehari-hari. I can relate much with this book. Saya banyak menganggukkan kepala saat membacanya, bahkan saya jadi tahu lebih dalam tentang hal-hal yang selama ini baru saya ketahui permukaannya saja. Membaca buku ini bagi saya seperti sedang belajar antropologi saja. Saya jadi punya cara pandang baru terhadap kehidupan di Belanda.
Bagi yang belum pernah tinggal di Belanda, membaca buku ini membuka wawasan tentang filosofi hidup dan cara pandang orang Belanda yang mungkin menjadi penyebab anak-anak Belanda dinobatkan sebagai anak-anak paling bahagia di dunia. Secara umum, kita bisa belajar untuk kemudian merefleksikannya pada kehidupan yang kita jalani sekarang. Ambil hal-hal positif yang sejalan dengan nilai kita dan bisa kita tiru. Siapa, sih, yang enggak mau punya anak bahagia? Ya, kan?
Meski begitu, saya merasa perlu mengingatkan di awal. Sebelum membaca buku ini (dan buku apa pun), kosongkan gelas kita dulu. Ambil sikap netral sehingga kita akan mendapatkan banyak hikmah, ide, pencerahan, pengetahuan dari buku ini. Jika tidak, kita akan mudah menghakimi yang tidak sesuai dengan nilai yang kita anut.
Sayangnya, setahu saya buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kamu bisa mendapatkan versi bahasa Inggris di Amazon. Enggak harus baru karena punya saya pun buku second, €5 saja!
Kalau kamu, sudah baca buku apa bulan ini? Share di kolom komentar, ya!
4 Comments
Heheh sebagai tetangga, pertanyaanku adalah: beli di mana buku second, teh Muti? :D ya anak-anak Belanda katanya anak bahagia ya... aku belum pernah baca bukunya tapi pernah liat headline artikel semacam itu. salah satu yang aku rasakan adalah soal pendidikan sih. Di sini SD itu sampai kelas tengah lah ya minimal (kelas 4) masih santai. nggak kayak TK SD di Indonesia yang dari sejak playgroup aja udah tegang banget soal calistung karena takut nggak masuk SD kalau belum bisa baca.
ReplyDeleteDan orang Belanda itu pada umumnya ya emang nggak ambisius. Jadi pelayan toko monggo, jadi tukang benerin sepeda asyik aja. Jadi mereka nggak stress anak harus sarjana kayak kita. Tapi ya itu balik lagi karena di sini juga sistem sosial ekonominya emang menjamin orang-orang nggak sampai terlantar kelaparan jadi orang santai aja soal masa depan ya..
Kalau soal baca buku, toss dulu Teh Muti, aku pun mengalami hal yang sama ��
Teh Muti, ini kedua kalinya aku baca review buku ini. Menarik ya kayanya, aku mau cari juga deh.
ReplyDeletePoint yang sama juga diceritain di review yang kubaca dulu, pasal sex bebas dan drugs, tapi seperti Teh Muti bilang kita ambil baiknya aja ya.
Soal kesetaraan itu menarik ya, case yang sama pernah kubaca di Austria, gaji dosen yang S3 di universitas kurang lebih sama dengan penjaga toko hehe. Jadinya mereka memang kerja karena passion, bukan semata-mata cari uang. Indonesia masih jauh banget untuk menuju kesana.
Nice writing Teh
aku baru ini dengar kalau anak di Belanda adalah anak yang paling bahagia. Menarik review bukunya,. walaupun sepertinya kalau nggak di Belanda emang kurang relate ya.
ReplyDeleteAku blum baca lagi nihh bulan ini, padhaal udah 9 hari nih. Februari.
Aku juga baru denger nih soal anak² di Belanda paling bahagia. Penasaran juga pengukurannya gimana.
ReplyDeleteNice review,Teh, bikin tertarik jg baca bukunya. Dan ak langsung nanya anakku...are you happy?