Pos ini masih tentang blog baru (semoga kamu belum bosan 😁), tepatnya tentang tagline yang saya tulis di bagian header. Itu, tuh, yang ada di bawah judul muttimuti. Yup, "about motherhood and more".
Mengapa saya pilih tagline itu? Tentu alasan paling sederhana adalah karena saya seorang ibu dari tiga anak aktif. It's so obvious that everyone can see it. Namun, haruskah status keibuan saya diperjelas, bahkan dijadikan tagline?
Tema Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog perdana di tahun ini, "Tentang Dirimu, Mamah Gajah", pas sekali untuk membahasnya. Meski mendefinisikan diri itu tidak mudah, ada satu sisi yang sampai sekarang terus saya renungi dan resapi maknanya: saya sebagai ibu, sekaligus ibu rumah tangga.
Beratnya jadi mamah gajah
Bagi sebagian orang, mungkin peralihan status menjadi ibu rumah tangga terasa biasa saja, bahkan dianggap wajar. Menikah, lalu hamil, melahirkan, dan membesarkan anak tanpa diduakan oleh pekerjaan di luar rumah adalah kodrat perempuan yang harus diterima dan dijalani. Namun, lain perkara bila yang berada di posisi tersebut adalah seorang mamah gajah. Persoalan ini jadi rumit karena dulu waktu kuliah terbiasa berpikir yang rumit-rumit, setidaknya di mata saya.
Oh iya, untuk kamu yang belum tahu, mamah gajah itu sebutan untuk alumni (atau calon alumni) perempuan sebuah PTN di Bandung (sebut saja, Kampus Gajah) yang akan/sudah menyandang status mamah. Istilah gajah diambil dari lambangnya yang adalah gajah duduk, bukan karena ukuran tubuh, berat, apalagi wajah para mamah mirip gajah. Awas, nanti ada yang tersinggung 🤫.
Harapan yang diemban alumni Kampus Gajah ini sungguh tinggi. Mungkin penyebabnya adalah sepanjang sejarah sekolah ini hanya menerima mahasiswa peringkat atas dengan nilai superior. Bahkan waktu zaman orang tua saya menjadi mahasiswa baru di sana—iya, mereka alumni Kampus Gajah juga sehingga kami sebenarnya adalah keluarga gajah 🐘🐘🐘; saya dan suami juga membentuk keluarga gajah jilid 2—spanduk penyambutannya bertuliskan: Selamat Datang Putra-Putri Terbaik Bangsa.
Sebelum pandemi, kamu tidak perlu jadi mahasiswa. staf, atau dosen untuk jalan-jalan keliling kampus (foto: Kampus Gajah). |
People expect you to be successful just because you're a top university graduate. Padahal kenyataannya, alumni Kampus Gajah juga sama-sama berjuang dari bawah seperti yang lain. Kesuksesan tidak jatuh dari langit, kan?
Harapan (dan tuntutan) ini berlaku sama, untuk laki-laki dan perempuan. Karenanya, alumni perempuan yang kemudian menikah dan memilih (dengan sadar ataupun terdesak oleh keadaan) untuk menjadi ibu rumah tangga kerap mendapat pertanyaan, "Kok, di rumah aja?" atau "Ga sayang, tuh, udah sekolah tinggi-tinggi, tapi jadi ibu rumah tangga doang?" Merendahkan, kepo, kasihan, dan murni bertanya itu memang berbeda tipis, Mah, setipis helaian rambut dibelah tujuh.
Stigma di masyarakat berpotensi membuat ibu rumah tangga minder. Peran sebagai ibu rumah tangga dianggap cuma-cuma: cuma jadi ibu rumah tangga, cuma di rumah, cuma mengurus anak, cuma jadi tukang antar jemput anak sekolah, dan sederet cuma lainnya. Lebih parahnya, karena ibu rumah tangga tidak digaji dan tidak berpenghasilan, negara menganggap ibu rumah tangga sebagai pengangguran terselubung. Diperhitungkan dalam penyumbang GDP? Tentu hanya mimpi. Walaupun faktanya, mungkin saja ibu rumah tangga memiliki usaha sampingan dan menghasilkan pemasukan bulanan lebih besar daripada pegawai kantoran.
Ibu rumah tangga sesungguhnya punya banyak tangan (gambar: Freepik). |
Pandangan umum itu menurut saya kontradiktif karena menjadi ibu rumah tangga itu aslinya berat, Mah. Dia sebenarnya adalah manajer keuangan, pengawas kualitas, ahli gizi, koki, supir, body guard, guru, pendongeng, trainer, dan pengasuh anak dalam satu badan yang sama. Pokoknya harus serba bisa! Tidak ada waktu libur bagi ibu rumah tangga; untungnya masih punya waktu tidur (yang berantakan sewaktu anak masih bayi 😌).
Malangnya, ibu rumah tangga tidak diperhitungkan sebagai profesi yang layak untuk dipilih. Tidak ada, tuh, sekolah/pelatihan untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik dan benar. Selain itu, tidak ada sertifikasi khusus untuk menyatakan kualifikasi sebagai ibu rumah tangga. Intinya, lulusan universitas yang menjadi ibu rumah tangga harus mencari sendiri cara untuk meningkatkan kualitas dirinya.
Pergulatan batin seorang mamah gajah
Nah, peran sebagai ibu rumah tangga yang multifaset berimbas pada penerimaan diri saya sebagai ibu. I'm lost in the journey of motherhood and I didn't expect it.
Dulu saya memilih untuk menjadi ibu penuh waktu yang bekerja di ranah domestik semata-mata karena merasa itu yang benar. Alasan sederhana sekali, ya? Namun, kenyataan tidaklah semulus kulit artis Korea 🤪.
Ada masa saya tidak menikmati menjadi ibu. Jangan salah sangka. Saya mencintai anak-anak saya, tetapi tetap saja ada yang mengganjal. Jauh di dalam hati, ada bisikan "seharusnya saya tidak di sini, tidak di rumah (saja)" yang membuat saya ingin menanggalkan peran ibu penuh waktu. Namun, untuk melangkah ke luar, ada perasaan bersalah karena itu berarti saya harus rela melepaskan anak dari pengawasan saya. Kaki saya menapak di rumah, tetapi jiwa saya ingin menjelajah. Istilah zaman sekarang: BM (Banyak Mau) 😂.
Momen memegang tangan bayi untuk pertama kali adalah momen berharga bagi seorang ibu (foto: Freepik) |
Perasaan ini berlarut-larut, kadang naik, kadang turun. Dia belum benar-benar hilang meski setiap hari saya tetap melakukan segala pekerjaan ibu rumah tangga (yang tidak ada habisnya itu) dan tetap belajar berbagai hal tentang anak dan pengasuhan. Beberapa impian pribadi masih tersimpan, menunggu untuk diwujudkan.
Berulang kali saya mendengarkan nasihat soal ladang amal terbesar bagi perempuan sejatinya ada di rumah: sebagai istri dan ibu. Namun, yang namanya ikhlas mudah untuk diucapkan, sulit untuk dipraktikkan. Walau akal sudah menerima, hati ini belum lapang jua.
Kemudian menjelang kepulangan kami ke Indonesia tahun ini, saya berada pada persimpangan yang mengharuskan saya untuk mulai serius memikirkan wujud peran sebagai ibu. Apakah saya akan menjadi ibu penuh waktu yang bekerja di rumah atau ibu penuh waktu yang juga mengambil peran eksternal? Apakah saya akan kembali ke dunia akademik atau beralih ke yang lain? Jadi bloger, misalnya 😍? Apakah saya akan mengambil peran sebagai home schooler mom atau bekerja sama dengan sekolah dalam mendidik anak?
Pertanyaan-pertanyaan itu menuntut saya untuk tidak lagi menunda proses penerimaan diri sebagai mamah gajah (baca: ibu) seutuhnya. Saya harus segera berdamai dengan diri, dengan keadaan, dengan impian. And it means, now.
Penerimaan diri sebagai mamah gajah
Alhamdulillah kegalauan saya seperti bertemu muaranya Desember lalu, tepatnya di sesi penutup Konferensi Ibu Pembaharu (KIP) yang diselenggarakan oleh Ibu Profesional. Ibu Septi Peni Wulandani (founder Ibu Profesional) membawakan judul yang ngena banget: “Saya ibu rumah tangga dan saya bangga”. Beliau berbagi pengalamannya dalam meningkatkan kapasitas diri sebagai ibu melalui membaca buku, belajar public speaking, menebar kebaikan, juga mengajak ibu lain untuk sama-sama belajar.
Beliau menekankan pentingnya mengubah mindset soal ketidakberdayaan ibu rumah tangga. Everything begins from your mind. Dengan cara berpikir yang baru, ibu rumah tangga akan keluar dari cangkang yang ia ciptakan sendiri. Ia akan bisa melepaskan ikatan yang membelenggu pikirannya. Menjadi ibu rumah tangga bukan berarti berhenti belajar. Menjadi ibu rumah tangga bukan berarti tidak bisa berkarya. Dari ibu-ibu hebat, lahir anak-anak hebat.
Menerima diri adalah salah satu kunci kebahagiaan (gambar: Pixabay). |
Meski sebenarnya bukan ide segar, saya menganggap ini cara Allah menguatkan saya. It just came at the right time. Rasanya berbeda karena sekarang saya sedang berbenah diri. Ditambah lagi, pembicara di sesi sebelumnya (juga di KIP) membahas tentang konsep fixed mindset vs growth mindset. Intinya, kita harus punya growth mindset untuk menjadi diri yang lebih baik, dengan kapasitas yang bertambah.
Jadi, apa yang (harus) saya lakukan dalam proses ini? Catatan: saya menulis poin-poin berikut dalam rangka memetakan langkah, bukan merekam pengalaman.
- Menanamkan dalam hati bahwa peran sebagai ibu (rumah tangga) adalah takdir Allah yang terbaik. Tidak ada ketentuan-Nya yang salah. Seringnya kekeliruan dalam memahami ada pada diri kita sebagai manusia.
- Memandang keluarga sebagai kendaraan yang akan membawa saya ke surga dunia dan akhirat. Menjadi ibu (rumah tangga) adalah bentuk ibadah kepada Allah. Tambahannya, bersyukur! Allah memberikan nikmat berupa keluarga (dengan anak-anak yang sehat) kepada saya.
- Memperbaiki niat sebab niat adalah setengah dari ibadah, lalu sering-sering memeriksa kelurusan niat. Lihat rumah berantakan, anak berantem, plus masih harus masak itu berpotensi membuat uring-uringan. Mamah pasti paham banget, deh. Kalau sudah begitu, pasang mode masa bodo dulu 😂.
- Mendesain ulang impian. Alih-alih merasa kehilangan impian, saya perlu membuat impian baru sesuai dengan peran sekarang. Mungkin istilah lebih tepatnya, "menyelaraskan impian" sebab seharusnya tidak perlu ada kepentingan baik yang dipertentangkan. Make some time for myself. Finding the right balance is the key.
- Mulai sekarang! Ini adalah poin yang paling menohok 😆.
Semoga pada saatnya nanti, saya akan mampu berkata dengan percaya diri, "Saya mamah gajah yang #dirumahaja dan saya bangga".
Penutup
Bagi saya, pergulatan batin dalam menerima diri sebagai ibu dan ibu rumah tangga melewati jalan berliku. Sekarang pun saya masih berproses karena merasa belum 100% ada pada titik menerima seutuhnya. It's okay, I will just take my time as long as I'm walking toward the right direction.
Tagline "about motherhood and more" sebenarnya adalah jangkar peneguh bagi saya selama berproses untuk menerima diri. Saya berharap dengan menuliskan banyak cerita dari sudut pandang ibu yang juga ibu rumah tangga, kaki saya akan makin kuat menjejaki peran ini.
Doakan ya, Mah!
0 Comments