Di bulan pertama tahun 2014 silam, publik Jepang dihebohkan oleh tembusnya dua artikel ilmiah milik ilmuwan Jepang ke Nature, salah satu jurnal paling bergengsi di bidang sains dan teknologi. Sudah merupakan rahasia umum bahwa yang bisa menerbitkan artikel di sana akan langsung naik kelas, bersanding bersama jajaran ilmuwan top notch dunia. Apalagi topiknya "seksi": sel biasa dapat diubah menjadi sel punca (stem cell) dengan perlakuan stres. Sel-sel ini dinamakan STAP (stimulus-triggered acquisition of pluripotency). Keberhasilan metodenya memberikan harapan akan terwujudnya terapi sel punca untuk kepentingan medis.
Tidak hanya perihal artikel itu sendiri, publik Jepang terkesima oleh sosok peneliti yang menjadi penulis pertama, Haruko Obokata. Sebagai seorang wanita, dia laksana berlian di tengah dominasi peneliti pria di Jepang. Semua kualitas baik tampak berkumpul padanya: cerdas, stylish, cantik, tetapi tetap santun khas orang Jepang. Siapa yang tidak dibuat iri bin kagum olehnya?
Namun, lampu sorot media hanya bertahan sebulan saja. Di bulan kedua, laporan soal kejanggalan artikel tersebut mulai terkuak. Tidak ada yang bisa mereproduksi sel yang dimaksud, meski sudah mengikuti prosedur yang dijelaskan di dalam artikel—reproducibility adalah syarat mutlak suatu hasil penelitian diterima oleh masyarakat ilmiah.
Tim investigasi pun dibentuk. Bersamaan dengan itu, ada pihak yang melaporkan bahwa dua gambar yang dicantumkan di dalam artikel ternyata diambil dari tesis PhD Obokata di Universitas Waseda. Lebih parahnya lagi, di tesis tersebut Obokata menyalin dan menempel satu paragraf panjang tentang karakteristik sel punca dari situs National Health Institute.
Tiga bulan setelah investigasi dimulai, Obokata dituduh melakukan plagiarisme, pemalsuan gambar, dan fabrikasi data. Nature menarik kedua artikel milik Obokata dan Universitas Waseda mencabut gelar PhD-nya. Skandal ini tidak hanya memukul Obokata yang kemudian dirawat karena depresi, kepala bagian yang menaungi laboratorium Obokata juga menanggung malu dan memilih gantung diri di tangga kantornya—sebuah akhir yang mengenaskan dari suatu penelitian prestisius.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Di sekitar periode waktu yang sama—kebetulan yang aneh—tepatnya bulan Februari 2014, dunia akademis Indonesia diguncang oleh kabar penjiplakan yang dilakukan oleh Anggito Abimanyu, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada. Artikel Abimanyu berjudul "Menggagas Asuransi Bencana" di kolom Opini Kompas dinilai menjiplak tulisan Hotbonar Sinaga berjudul "Gagasan Asuransi Bencana" yang terbit tahun 2006 di media yang sama. Tuduhan plagiarisme ini berhembus setelah muncul sebuah artikel di Kompasiana yang mempertanyakan hal tersebut.
Selain meminta maaf secara langsung kepada Sinaga, sebagai bentuk komitmen menghargai kejujuran, Abimanyu mengundurkan diri sebagai dosen FEB UGM. Walaupun demikian, dia tidak benar-benar mengakui telah melakukan plagiarisme—seperti halnya Obokata—melainkan akibat kelalaian menyimpan fail di komputer semata—sebuah keteledoran remeh, tetapi fatal.
Plagiarisme
Dari dua kasus di atas, apa kesamaannya? Ya betul, keduanya terlibat plagiarisme!
Apa sih, plagiarisme? Menurut KBBI daring, plagiarisme (n) berarti penjiplakan yang melanggar hak cipta. Adapun plagiat (n) adalah pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri, jiplakan. Pelakunya disebut plagiator bukan gladiator.
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan RI Nomor 17 Tahun 2010, “Plagiat adalah perbuatan sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai.”
Ilustrasi plagiarisme (sumber: Freepik) |
Kita bahas teorinya dulu, ya.
Ruang lingkup plagiarisme
Untuk menilai apakah tindakan kita termasuk plagiarisme atau bukan, kita perlu mengetahui cakupannya. Situs wikipedia.com memaparkan ruang lingkup plagiarisme yang diambil dari buku Bahasa Indonesia: Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah karya Utorodewi, dkk (2007). Suatu perbuatan dikatakan plagiarisme jika:
- mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri,
- mengakui gagasan orang lain sebagai pemikiran sendiri,
- mengakui temuan orang lain sebagai kepunyaan sendiri,
- mengakui karya kelompok sebagai kepunyaan atau hasil sendiri,
- menyajikan tulisan yang sama dalam kesempatan yang berbeda tanpa menyebutkan asal usulnya,
- meringkas dan memparafrasekan (mengutip tak langsung) tanpa menyebutkan sumbernya, dan
- meringkas dan memparafrasekan dengan menyebut sumbernya, tetapi rangkaian kalimat dan pilihan katanya masih terlalu sama dengan sumbernya.
Sebagai tambahan, menurut Panduan Anti Plagiarism—harusnya antiplagiarisme, wkwk—yang diterbitkan oleh Perpustakaan Universitas Gadjah Mada, plagiarisme juga mencakup:
- mengutip kata-kata atau kalimat orang lain tanpa menggunakan tanda kutip dan tanpa menyebutkan identitas sumbernya,
- menggunakan gagasan, pandangan atau teori orang lain tanpa menyebutkan identitas sumbernya,
- menggunakan fakta (data, informasi) milik orang lain tanpa menyebutkan identitas sumbernya,
- menyerahkan suatu karya ilmiah yang dihasilkan dan/atau telah dipublikasikan oleh pihak lain seolah-olah sebagai karya sendiri.
Wah, ternyata luas juga, ya. Karena itu, dalam menghasilkan karya tulis, seseorang harus ekstra hati-hati supaya tidak terpeleset ke dalam plagiarisme. Yang tidak sengaja saja dilarang, apalagi yang sengaja. Ya, kan?
Tipe-tipe plagiarisme
Ada beberapa tipe plagiarisme. Saya mengambil dari artikel daring di kajianpustaka.com berjudul "Pengertian, Jenis dan Identifikasi Plagiarisme" yang mengutip buku Plagiarisme: Pelanggaran Hak Cipta dan Etika karya Soelistyo (2011). Empat tipe yang disebutkan di sana adalah:
Plagiat ide (Plagiarism of ideas). Karena ide bersifat abstrak, tipe plagiat ini relatif sulit dibuktikan. Lagipula bisa saja, kan, dua orang memiliki ide yang sama dalam satu waktu?
Plagiat kata demi kata (Word for word plagiarism). Pada tipe ini, penulis menjiplak persis kata-kata dari karya orang lain tanpa menyebutkan sumbernya. Biasanya hal ini terjadi dalam penulisan karya ilmiah. Ada yang merasa pernah melakukannya?
Plagiat sumber (Plagiarism of source). Penulis tidak menyebutkan secara lengkap dan jelas sumber yang dijadikan rujukan. Jika mengutip dari karya orang lain (penulis kedua) yang dia juga mengutip dari karya penulis lain (penulis pertama), nama penulis pertama juga wajib disebutkan. Ini bagian dari etika juga sih, sebenarnya.
Plagiat kepengarangan (Plagiarism of authorship). Tipe ini paling tidak tahu diri, menurut saya. Penulis dengan sadar dan sengaja mengakui karya orang lain sebagai karyanya.
Pola plagiarisme
Di dalam buku yang sama, juga disebutkan beberapa pola plagiarisme. Apa saja?
Plagiarisme total
Plagiarisme parsial
Autoplagiarisme (self plagiarism)
Plagiarisme antarbahasa
Maksud nomor satu dan dua sudah bisa ditebak lah, ya. Plagiarisme total berarti penulis menjiplak karya tulis orang lain seluruhnya dan mengakui itu sebagai karyanya. Kebangetan nggak, tuh? Teganya … teganya … teganya ….
Dalam plagiarisme parsial, penulis (hanya) mengambil sebagian dari karya orang lain. Itu bisa berupa pernyataan, landasan teori, sampel, metode analisis, pembahasan, dan atau kesimpulan tertentu tanpa menyebutkan sumbernya. Bisa dikatakan, pada umumnya penulis masuk ke dalam kategori ini.
Nah, bagaimana dengan nomor tiga dan empat? Menurut saya, autoplagiarisme adalah tipe plagiarisme yang paling "halus”. Penulis mungkin melakukannya dengan alasan, "Itu kan tulisanku juga. Masa' nggak boleh disalin-tempel", padahal ternyata tindakan itu sudah termasuk plagiarisme. Walaupun terkesan janggal saat menuliskan nama sendiri sebagai sumber referensi, penulis harus tetap melakukannya.
Membaca penjelasan tipe plagiarisme yang terakhir membuat saya mempertanyakan diri sendiri. Jangan-jangan saya pernah melakukannya. Plagiarisme antarbahasa terjadi bila kita menerjemahkan karya tulis dalam bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia tanpa menyebutkan sumbernya. Berhubung biasanya referensi yang saya pakai berbahasa Inggris, bisa jadi dulu saya pernah lalai menuliskan sumbernya.
Ilustrasi plagiarisme (sumber: Freepik) |
Plagiarisme: pelanggaran hukum (hak cipta) dan etika
Plagiarisme rentan terjadi di dunia akademis. Alasannya, dalam penulisan karya ilmiah, seseorang pasti membutuhkan referensi. Makin kaya referensi yang dipakai, akan makin bagus. Namun, bukan berarti boleh comot sana sini, termasuk mencomot hasil karya sendiri.
Sampai di sini, kita tentu setuju bahwa plagiarisme adalah bentuk pembajakan karena membajak berarti mengambil hasil ciptaan orang lain tanpa sepengetahuan dan seizinnya (KBBI daring, 2021). Karenanya, plagiarisme pastilah melanggar hukum sebagaimana tindakan pembajakan di bidang lain. Tidak tanggung-tanggung, menurut Undang-undang No. 20 tahun 2003 sanksi bagi lulusan yang karya ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan adalah pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Selain itu, ada juga Peraturan Menteri Nomor 17 Tahun 2010 yang mengatur sanksi bagi mahasiswa yang terbukti melakukan tindakan plagiat. Sanksinya mulai dari tingkat ringan, berupa teguran, hingga berat, berupa pemberhentian tidak dengan hormat dari status sebagai mahasiswa. Untuk mahasiswa yang telah lulus, ijazahnya akan dibatalkan. Sanksi lebih lengkapnya sebagai berikut:
Teguran
Peringatan tertulis
Penundaan pemberian sebagian hak mahasiswa
Pembatalan nilai
Pemberhentian dengan hormat dari status sebagai mahasiswa
Pemberhentian tidak dengan hormat dari status sebagai mahasiswa
Pembatalan ijazah apabila telah lulus dari proses pendidikan.
Nah, mungkin yang agak berbeda dengan pembajakan pada umumnya, di samping melanggar hukum, plagiarisme juga melanggar etika yang dijunjung tinggi di dunia akademis: kejujuran. Sains dan teknologi itu jujur. Semua fakta dijabarkan dan boleh diuji oleh siapa saja. Bahkan dalam konteks artikel ilmiah, metode yang ditulis harus jelas dan dapat diulang oleh pihak lain untuk memberikan hasil serupa. Maka dari itu, adalah hal yang wajar—dan memang sudah semestinya—kita mendengar seseorang mengundurkan diri dari jabatannya karena terlibat kasus plagiarisme. Well, untuk ukuran orang Jepang sih, salah satu solusinya adalah bunuh diri—seperti dalam skandal Obokata—karena tidak kuat menanggung malu.
Alasan melakukan plagiarisme
Kalau sudah tahu bahwa plagiarisme itu adalah sebuah pelanggaran hukum dan etika, mengapa masih ada saja orang yang melakukannya?
Pertanyaan ini harusnya dijawab dengan survei, hehe …, tetapi berdasarkan Panduan Anti Plagiarism Perpustakaan UGM, ada beberapa faktor pendorong plagiarisme.
Terbatasnya waktu untuk menyelesaikan karya tulis—alias dikejar deadline. Makanya jangan suka menunda-nunda! #selftoyor
Rendahnya minat membaca dan menganalisis referensi. Jangan males baca, woy! #pasangikatdikepala.
Kurangnya pemahaman tentang kapan harus mengutip dan caranya. Ada nggak sih di matkul TTKI?
Kurangnya perhatian guru atau dosen terhadap plagiarisme. Hmm … mungkin perlu ada kelas khusus untuk staf pengajar? Supaya bukan cuma mahasiswa saja yang peduli, dosen juga.
Eh, poin keempat benar terjadi, lo. Salah satu hasil investigasi skandal Obokata mengungkap alasan Obokata melakukan penjiplakan. Katanya praktik tersebut umum di Waseda dan profesornya berkata," ... lagipula tidak ada yang akan membaca tesismu." Yah, walaupun ini benar adanya—dan kita juga mengalami, habis lulus langsung menyimpan skripsi di bawah bantal—bukan berarti perbuatan menyalin-tempel menjadi boleh.
Ilustrasi plagiarisme (sumber: Freepik) |
Tips terhindar dari plagiarisme
Akhirnya kita sampai di bagian terakhir: tips supaya kita terhindar dari plagiarisme. Are you still with me?
Tips yang akan saya berikan sudah saya praktikkan sewaktu menulis tesis magister x (sensor) tahun yang lalu. Kami beruntung memiliki dosen yang sangat peduli tentang plagiarisme—terima kasih, Pak. Berikut adalah tipsnya:
Belajar cara mengutip yang benar. Pengutipan ada dua macam: langsung dan parafrase.
Pengutipan langsung artinya kita mengambil satu (atau lebih) kalimat tanpa mengurangi sedikitpun dari sumber aslinya. Gunakan dua tanda kutip dan cantumkan sumbernya.
Meski diperbolehkan, terlalu sering melakukan pengutipan langsung juga tidak bagus. Akan lebih baik jika kita melakukan parafrase. Parafrase adalah mengungkapkan ide orang lain dengan kata-kata kita sendiri tanpa mengubah esensi ide tersebut. Percaya, deh, ini butuh latihan.
Selalu cantumkan sumber yang kita pakai sebagai rujukan dengan baik dan benar, lalu tuliskan dalam daftar pustaka di bagian akhir. Ada beberapa gaya penulisan daftar pustaka. Pilih salah satu dan konsisten dengannya.
Nah, seringkali penulis lupa untuk menuliskan sumber yang lengkap di dalam daftar pustaka, padahal sudah mencantumkannya di bagian isi. Zaman S1 dulu, saya segera menulis semua keterangan di halaman daftar pustaka setelah mengutip di bagian isi. Repot bolak-balik, sih, tetapi wayahna, kata orang Sunda—alias, mau gimana lagi. Kemudian saat S2, saya menggunakan Mendeley, sebuah aplikasi pengelola kutipan dan daftar pustaka. Wow, it was really a game changer!
Walaupun saya tidak ingat persis—berhubung sudah sekian tahun berlalu—kurang lebih cara kerjanya sebagai berikut. Untuk yang pernah pakai Mendeley, tolong koreksi kalau ada yang salah, ya. Maklum laptop yang ada aplikasi itu sudah tewas jadi saya tidak bisa kroscek, wkwk ….
Pertama, kita unggah artikel yang kita mau di aplikasi. Nanti aplikasi bisa langsung mendeteksi judul, penulis, tahun penerbitan, nama jurnal. Kita bisa pilih gaya penulisan daftar pustaka yang kita inginkan. Kedua, menyinkronkan aplikasi dengan Microsoft Word. Dengan begini, setiap kita menulis nama sumber setelah mengutip, keterangan lengkapnya akan otomatis muncul di halaman daftar pustaka. Ketiga, memperbarui tampilan secara berkala.
Gunakan perangkat lunak pendeteksi plagiarisme, misalnya Turnitin. Dengan bantuan Turnitin, kita bisa tahu berapa persen plagiarisme karya tulis kita. Kita juga akan tahu di bagian mana, kesamaan/kemiripan terjadi. Canggih, deh.
Penutup
Pembajakan marak terjadi di sekitar kita. Meski ada hukum yang mengatur, penegakannya masih dipertanyakan, termasuk untuk plagiarisme. Apalagi untuk urusan skripsi atau tesis mahasiswa, siapa yang mau memeriksa satu persatu? Akhirnya semua dikembalikan kepada pribadi penulis untuk melakukan pencegahan dari awal. Penulis juga seyogianya mawas diri bahwa plagiarisme adalah satu bentuk pencurian dan pencurian dilarang baik dalam agama maupun secara hukum. Pelakunya akan merasa gelisah—jika nuraninya masih bersih. Dia juga pasti akan malu jika ketahuan—kok, nggak diperlihatkan oleh para koruptor, sih? Kan korupsi juga mencuri. #tanyakanpadarumputyangbergoyang #lalalalala.
Dengan semangat kemerdekaan di penghujung bulan Agustus, saya ingin mengajak teman-teman untuk senantiasa menghargai karya orang lain—baik sudah berwujud maupun masih dalam bentuk ide—dalam bidang apa pun, tidak hanya karya ilmiah. "Hidup Tanpa Bajakan", seperti tema Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog, adalah prinsip penting yang seharusnya kita miliki. Percaya, deh. Pembajakan tidak hanya merugikan orang lain, tetapi juga diri sendiri. Yuk, hidup tenang dengan mengatakan TIDAK untuk pembajakan!
Anonim. 2021. Plagiarisme. https://id.wikipedia.org/wiki/Plagiarisme, diakses tanggal 30 Agustus 2021.
Goodyear, D. 2016. The Stress test. https://www.newyorker.com/magazine/2016/02/29/the-stem-cell-scandal, diakses tanggal 29 Agustus 2021.
Istiana, P dan Purwoko. 2017. Panduan Anti Plagiarism. http://lib.ugm.ac.id/ind/?page_id=327, diakses tanggal 30 Agustus 2021.
Maharani, S. 2014. Dituding Plagiarisme, Anggito Mundur dari UGM. https://nasional.tempo.co/read/555008/dituding-plagiarisme-anggito-mundur-dari-ugm, diakses tanggal 30 Agustus 2021.
Riadi, M. 2019. Pengertian, jenis, dan Identifikasi Plagiarisme. https://www.kajianpustaka.com/2019/02/Plagiarisme.html, diakses tanggal 30 Agustus 2021.
7 Comments
keren bgt tulisannya teehhh, kyk lg baca jurnal hihi. walau tulisannya panjaaang tp tetap enak dibaca. oot ga penting ya teh, pas baca univ waseda, langsung ingetnya kampus youtuber terkenal ��
ReplyDeleteHe-eh ternyata jadi panjang 😅. Yang inisialnya JP, ya? Haha.. Kirain inget personilnya Arashi 😂 (eh, tahu Arashi kan? 😌)
DeleteBagus teh tulisannya. Jadi tau lengkap tentang plagiarisme. Aku juga pernah ditegur pembimbing karena self plagiarism. Walaupun ditulis di 1 dokumen yg sama ternyata nggak boleh copy paste
ReplyDeletewow banget ini kupas tuntas plagiarisme ya memang. Mulai dari kenapa sampai bagaimana menghindari. Semoga kita sama-sama bisa belajar untuk menghindari plagiarisme.
ReplyDeleteTeh muti keyeeennnn ...
ReplyDeleteDuuuhbb makjleb itu kalo dosen pun kudu aware saat bimbingan tugas akhir ya
Aku tertohok hiikksss
Salam semangat
Wah yang bagian self plagiarisme ini jadi reminder banget deh.baru ngerti ternyata harus ditulis juga nama kita. Terima kasih pencerahannya teh Muti!
ReplyDeleteMantep banget teh. Ini setoran tulisan anak ITB nih hihi
ReplyDelete