Kalau ada yang payah di semua lomba khas 17 Agustusan, mungkin saya adalah contohnya. Haha …. Saya bukan yang terkuat jadi tidak pernah mendaftar jadi anggota tim tarik tambang. Saya bukan yang tercepat sehingga cukup tahu diri untuk tidak mendaftar lomba balap karung atau lomba makan kerupuk. Saya juga bukan yang tertangkas. Terbukti dengan selalu kalahnya saya di lomba memasukkan pensil ke dalam botol dan lomba kelereng.
Satu-satunya lomba yang pernah membuat saya naik panggung--dalam arti sebenarnya--adalah lomba menggambar! Untungnya mendiang ayah mengadakan jenis lomba tersebut di perayaan kemerdekaan Indonesia ke-50 waktu beliau menjabat sebagai ketua RT. Tahun itu perayaan lebih meriah daripada biasanya--ibarat golden anniversary pernikahan--karena beberapa RT bekerja sama. Selain tambahan lomba menggambar, ada juga lomba sepeda hias. Pemberian hadiah kepada para pemenang juga istimewa karena panitia membuat panggung untuk penampilan grup musik dan penyerahan hadiah.
Nah, dari semua lomba yang saya sebutkan di atas dan lomba lain yang biasanya diadakan setiap tahun dalam rangka perayaan kemerdekaan RI, sebenarnya ada satu yang paling jadul. Konon lomba ini sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda dan dinamakan "de klimmast". Ada yang tahu?
Ya, benar, lomba panjat pinang! "Klim" berarti memanjat/mendaki dan "mast" berarti tiang. Orang Belanda mengadakan lomba panjat pinang setiap tanggal 31 Agustus dalam rangka memperingati ulang tahun Ratu Wilhelmina--bahkan tradisi peringatan ulang tahun ratu, dan sekarang raja, masih ada hingga sekarang, meski bukan dengan lomba panjat pinang, lo, ya. Selain itu, lomba ini juga diadakan saat acara penting orang Belanda, seperti pernikahan dan hajatan.
Sayangnya lomba panjat pinang mengandung sejarah kelam bagi bangsa Indonesia. Sama seperti yang kita kenal pascakemerdekaan, dulu orang Belanda memasang batang pinang di tanah lapang dan melumurinya dengan oli/minyak sehingga licin. Mereka kemudian menggantung berbagai macam bahan makanan pokok, seperti beras, roti, gula tepung, juga pakaian di bagian atas. Bagi rakyat Indonesia zaman itu yang hidup kekurangan, jenis-jenis barang tersebut ibarat barang mewah.
Prinsip ini bertahan hingga lomba versi modern yang berhadiah barang elektronik. Mengapa? Karena bagi rakyat awam sekarang, barang elektronik dianggap hal mewah.
Ketika orang Indonesia bersusah payah memanjat, bekerja sama untuk meraih hadiah, orang Belanda hanya menonton sambil menertawakan orang yang jatuh. Mengenaskan, ya. Saya merasa harga diri orang Indonesia serasa benar-benar diinjak-injak melalui permainan ini.
Oleh karena itu, banyak yang menganggap lomba panjat pinang hanya membuka luka lama rakyat Indonesia. Sebaliknya ada juga yang berpendapat bahwa lomba tersebut menggambarkan perjuangan rakyat Indonesia dalam melawan penjajah Belanda. Alasannya adalah nilai kerja sama, pantang menyerah, dan semangat yang terkandung dalam lomba panjat pinang.
Penutup
Terlepas dari pro kontra tentang lomba panjat pinang, pada kenyataannya lomba panjat pinang semakin jarang dijumpai setiap perayaan 17 Agustusan. Mungkin karena faktor berkurangnya tanah lapang, sulit mendapatkan batang pinang, ataupun minim donatur--bagaimanapun harga barang elektronik kan, lumayan, ya. Sampai sekarang bahkan saya baru sekali melihat lomba panjat pinang, yaitu saat SD--atau SMP, saya lupa--,lebih dari dua puluh tahun silam. Perlukah lomba ini dilestarikan? Saya kembalikan jawabannya kepada kamu. Wkwk ….
Sumber:
Harianja, A.J. 2020. Sejarah dan Makna dari Lima Perlombaan 17 Agustus. https://www.google.com/amp/s/www.idntimes.com/news/indonesia/amp/axel-harianja/sejarah-dan-makna-dari-lima-perlombaan-17-agustus. (Diakses tanggal 16 Agustus 2021).
0 Comments