Jika nasib sampah sedotan plastik tidak jelas rimbanya (baca Kurangi Pakai Sedotan Plastik, Yuk!), ke manakah sedotan kertas dibuang?
Perkenalan pertama saya dengan pengelompokkan sampah bermula semasa kuliah sarjana. Waktu itu ada dua macam tempat sampah berdampingan: sampah kering dan sampah basah. Sayangnya sebagai mahasiswa tidak ada sosialisasi yang saya dapatkan mengenai hal ini. Bahkan seingat saya tidak ada keterangan apa-apa di tempat sampah tentang maksud “basah” dan “kering”.
Ketidak jelasan tersebut diperparah dengan sistem pengelolaan sampah yang belum tertata. Tidak jauh-jauh bahkan di tahap pengumpulan, petugas kebersihan mencampur kembali sampah basah dan kering di mobil bak terbuka. Selain kesal, saya kemudian menjadi skeptis soal pemilahan sampah, baik di kampus maupun secara umum.
Pengalaman hidup di Jepang saat kuliah magister membuka mata sekaligus menempa saya soal persampahan. Bagaimana Jepang mengelola sampah mulai dari hulu, yakni rumah tangga. Setiap rumah wajib mengikuti aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah kota mengenai jenis sampah yang harus dipilah, cara memilah, dan hari pengambilan sampah. Kalau kita salah, bisa-bisa sampah kita tidak diangkut dan ditempeli stiker. Yang lebih naas, di musim panas sampah dapur yang tidak terangkut adalah mangsa empuk bagi burung gagak. Mereka akan mengais plastiknya sehingga sampah tercecer di mana-mana dan mengotori jalan.
Di Belanda, sampah juga dipilah berdasarkan jenisnya. Meski penerapannya berbeda-beda tergantung kebijakan setiap daerah, secara umum ada enam kategori untuk sampah yang dibuang sehari-hari: 1) organik (GFE); 2) kertas; 3) plastik, metal, dan kemasan minuman (PMD); 4) gelas; 5) residu/umum; 6) tekstil. Masing-masing memiliki penjelasan sendiri tentang contoh-contoh sampah yang bisa masuk, misalnya untuk sampah organik. Kita bisa membuang antara lain daun-daunan, sisa sayuran, buah, daging dan tulang, ikan dan tulang ikan, sisa makanan, juga sedotan kertas yang saya maksud di atas. Yang dilarang untuk dibuang ke sini di antaranya rambut kucing dan anjing, kantong teh, puntung rokok, kayu dan dahan yang tebal/besar. Sampah GFE akan diolah menjadi kompos. Karena itu kita harus menggunakan kantong sampah khusus yang mudah terurai.
Deretan tempat sampah (kiri atas: kertas, gelas, umum, PMD; kiri bawah: tekstil, kanan: GFE) |
Kantong sampah khusus sampah organik |
Perilaku pemilahan sampah dan penggunaan kembali akan mengurangi sampah yang sebenarnya tidak perlu untuk masuk ke insinerator. Sampah hasil pemilahan lalu bisa didaur ulang dan digunakan sebagai bahan mentah untuk membuat produk baru. Dengan begini persediaan bahan mentah yang langka terjaga, beban lingkungan berkurang, dan jumlah sampah umum menurun.
Yang menarik adalah selain sudut pandang ideologis, yakni menjaga kelestarian lingkungan--proses insinerasi melepas CO₂ ke udara--, pemilahan sampah akan berakibat pada berkurangnya biaya insinerasi dan pajak insinerasi untuk sampah umum. Pemerintah juga mendapat pemasukan dari berbagai sumber, seperti kertas, PMD, gelas, dan tekstil.
Untuk mencapai tujuan tersebut, kerja sama semua pihak sangat dibutuhkan. Pemerintah kota Schiedam, tempat saya tinggal, sampai membuat proyek khusus bernama Afval the Challenge (Tantangan Sampah) untuk menekan volume sampah umum per kapita per tahun. Melalui proyek ini volume sampah umum turun 214 kg pada tahun 2017 menjadi 180 kg pada tahun 2018. Keberhasilan proyek tentu tidak lepas dari kesadaran masyarakat tentang pengurangan dan pemilahan sampah.
Lalu, apakah semuanya sempurna? Oh, tentu tidak. Justru di titik kesadaran masyarakatlah, pemilahan sampah di Belanda (setidaknya di Schiedam) mengalami masalah. Bukan sekali dua kali saya melihat sampah berceceran di sekitar tempat sampah umum di pinggir jalan. Kadang sampah terbawa angin dan mendarat jauh dari tempat asal. Saat membuang sampah umum, masih ada saja yang salah memasukkan, misal kardus bekas yang seharusnya masuk ke sampah kertas tersasar ke sampah umum.
Sampah yang tercecer di sekitar tempat sampah |
Sampah yang tercecer di jalan |
Membangun kesadaran untuk menjadi pribadi yang ramah lingkungan memang sebuah proses. Sesuai slogan "Mulai dari diri sendiri, mulai dari hal kecil, mulai sekarang", mari kita ikut mengambil peran dalam mengurangi kerusakan lingkungan. Selain itu, jangan lupa untuk juga meneruskan semangat menjaga lingkungan kepada anak-anak kita agar menjadi upaya yang berkesinambungan!
Mengajak anak saat membuang sampah sesuai jenisnya |
2 Comments
Semakin banyak yang dipilah semakin harus keras edukasinya. Sayangnya indonesia ketinggalan jauh. Saya aja miris dipilah tapi buang mah ke satu tempat aja
ReplyDeleteYang paling penting mulai dari diri sendiri dulu kayaknya ya, Teh. Semangaaat
Delete