Ramai tersiar laporan bahwa Jakarta terkepung banjir. Tidak lagi di daerah langganan, tapi juga di pusat bisnis Sudirman Thamrin. Bundaran HI tergenang. TransJakarta berhenti beroperasi. Kemacetan di mana-mana.
Jakarta lumpuh. Bahkan air sudah menyelusup masuk Istana.
Warga harus dievakuasi, bayi hingga lansia. Posko bantuan dan dapur umum sibuk menyuplai kebutuhan para pengungsi. Hati terketuk, kepedulian terusik, tangan terulur. Tak perlu menunggu gerak pemerintah saat masyarakat bisa berdaya.
Semoga bencana ini segera berlalu. Agar terhapus segala derita.
Ataukah sebenarnya ini bukan bencana, melainkan kelalaian manusia?
Sudah terbaca, siklus banjir Jakarta. Jika sikap abai masih dipelihara, perilaku lama masih dijaga, tidak wajarkah alam makin murka? Mungkin warga Jakarta memang mudah lupa.
Lihat tumpukan sampah tersangkut di pintu air itu. Sungai yang mendangkal itu. Bangunan di daerah resapan air itu. Hutan yang terbabat itu. Siapa pelakunya?
Drainase Jakarta peninggalan Belanda. Terlalu kecil katanya. Pasti Belanda tidak menyangka Jakarta akan menjadi rumah bagi hampir 10 juta jiwa. Dan menghidupi lebih banyak di siang harinya. Layaknya semut mencari gula. Jika Jakarta bisa bicara, mungkin ia akan mengeluhkan berat beban di punggungnya.
Jakarta banjir, salah siapa? Banjir bukan murni bencana alam. Ada kontribusi manusia. Apalagi kali ini di Jakarta. Ketidakpedulian manusia menuai hasilnya. Saat alam bicara, di mana lagi ketamakan berada?
Cukuplah banjir ini menjadi yang terakhir. Jadikan ia pelajaran berharga agar tak lagi terjatuh di lubang yang sama. Bersihkan hati, jernihkan akal, wujudkan dengan tindakan. Pribadi dan sosial. Masyarakat dan penguasa.
Bumi adalah nikmat dari Sang Pencipta. Selayaknya dijaga. Karena manusia adalah khalifah. Sejatinya.
[Gambar dari sini]
2 Comments
Hujan itu anugerah Tuhan, kalau manusia nggak terus-terusan menutupi tanah dan alamNya dengan sampah, semen, aspal dan jalan raya ;) Nice post!
ReplyDeleteYup. Can't agree more. Thank you for stopping by :).
Delete