Bagi pengguna setia angkutan kota (angkot -- saya dan teman-teman kadang menyebutnya ancot) seperti saya, pasti paham benar perilaku kendaraan umum ini di jalan. Angkot seakan memiliki bab khusus dalam kitab aturan berkendara yang bahkan jenis kendaraan lain harus mematuhinya tanpa bisa membantah. Apalagi di Bandung, angkot menjadi primadona transportasi publik karena hampir tidak ada bus dalam kota seperti di Jakarta (jalanan di Bandung jelas tidak selebar di Jakarta).
Nah, mungkin karena merasa berkuasa, supir angkot kerap kali bertindak semau gue. Angkot memang bebas berhenti di mana saja, tergantung permintaan penumpang dan calon penumpang. Tapi kebebasan yang diberikan seringnya tidak disertai dengan tanggung jawab. Misalnya, karena ingin menurunkan atau mengambil penumpang, supir angkot memotong jalan tiba-tiba, menyebabkan mobil di belakangnya harus berhenti sejenak untuk memberikan jalan. Belum lagi soal angkot ngetem yang membuat macet lalu lintas.
Seperti tadi pagi, waktu saya berangkat ke kampus. Angkot biru yang saya naiki dengan santainya menyelak dua baris antrian mobil yang sedang menunggu lampu merah di Simpang Dago. Angkot tersebut melaju dari arah kiri (yang diperuntukkan bagi kendaraan yang akan belok kiri) dan berhenti tepat di depan mobil terdepan (dan di atas zebra cross) dengan posisi miring, siap untuk belok kanan. Ckck.. Kelakuan, kelakuan. Bukan itu saja. Setelah lampu hijau menyala, angkot tersebut belok dan berhenti tepat di sudut persimpangan demi menaikkan penumpang. Walhasil, mobil lain yang juga ingin belok jadi terhambat.
Tidak adil rasanya jika saya hanya menyalahkan si supir angkot. Toh, sedikit banyak perilaku penumpanglah yang memicu supir angkot bertindak seenaknya. Selayaknya hukum supply and demand: you ask I give. Hubungan angkot dan penumpang itu resiprokal, bukan satu arah. Kalau sudah tahu, memberhentikan angkot di tempat itu akan membuat macet, jalan sedikit ke tempat yang lebih aman bukan hal yang sulit kan?
Sesungguhnya potensi kezaliman bertebaran di jalan raya. Ukurannya, kalau karena perbuatan kita, orang lain merasa terganggu atau terugikan, itu berarti kita sudah zalim. Dan dalam Islam, zalim itu termasuk perbuatan dosa. Tidak main-main, loh.
Ini berlaku bukan hanya bagi angkot atau kendaaran umum lain, tapi juga bagi pengendara kendaraan pribadi. Bahkan bagi pengguna kendaraan umum (seperti saya) dan pejalan kaki. Di sinilah peran aturan lalu lintas: agar setiap pengguna jalan raya berada pada 'jalurnya'.
Tidak dipungkiri memang, aturan lalu lintas di negeri ini penuh dengan 'negosiasi'. Namun, kalau kita berpikir dalam konteks tanggung jawab kita sebagai makhluk sosial kepada Allah swt, aturan lalu lintas pasti akan otomotis kita patuhi. Tidak perlu menunggu pengawasan polisi supaya tertib. Islam tidak hanya mengurusi hubungan ilahiyah, tapi juga muamalah. Jangan bicara ber-Islam secara kaffah (utuh), jika perilaku kita di jalan raya masih serampangan. Mari mengintrospeksi diri!
[Gambar dari sini]
0 Comments