Menurut Daniel McClelland, satu negara akan menjadi makmur bila jumlah wirausahawan (entrepreneur) minimum 2% dari total jumlah penduduk. Itu berarti sekitar 4.4 juta dari 220 juta penduduk Indonesia. Pada kenyataannya hingga 2008 (survei Bank Dunia), wirausahawan Indonesia baru sekitar 1.5%, tertinggal dari negara tetangga Malaysia (4%), Thailand (4.1%), terlebih Singapura (7.2%).
Semangat untuk 'mengompori' munculnya wirausahawan-wirausahawan baru, khususnya kaum muda, inilah yang diusung oleh KM SBM ITB dalam seminar Road to Entrepreneur (Sabtu, 26/1/13). Dimoderasi oleh Adenita (penulis 9 Matahari dan 23 Episentrum), seminar yang bertema 'Buka-bukaan bareng Entrepreneur' ini menampilkan empat pembicara, yakni Henry Eko Sriyantono (pemilik Bakso Malang Kota 'Cak Eko' dan bisnis kuliner lainnya), Indah Paramita (CEO PT. T-Files Indonesia, ketua HIPMI Bandung), Bong Chandra (motivator termuda no.1 di Asia, pengusaha properti dan kuliner, penulis buku), dan Dahlan Iskan (Menteri BUMN, mantan dirut PLN, mantan CEO Jawa Pos). Terbayang kan serunya?
***
Wirausahawan, menurut Cak Eko, adalah orang yang bisa memanfaatkan sumber daya yang ada untuk meraih kesuksesan. Wirausahawan berbeda dengan pedagang. Wirausahawan mampu memberikan manfaat/nilai untuk orang lain, bukan hanya berpikir untuk dirinya sendiri saja.
Mudahnya begini. Jika kita melihat seorang tukang bakso di tahun pertama hanya punya satu gerobak. Di tahun kedua, ia hanya menambahkan terpal. Di tahun ketiga, kondisinya tetap sama. Bisa jadi di tahun kesepuluh, kita kembali ke sana dan menemukan tidak ada yang berubah. Hanya penjualnya yang bertambah tua. Si tukang bakso adalah contoh pedagang, bukan wirausahawan. Tukang bakso yang wirausahawan akan berpikir bagaimana usahanya bertambah besar. Di tahun kedua, dia akan menyewa kios dan menggaji satu karyawan. Di tahun ketiga, jumlah karyawannya menjadi lima orang. Di tahun keempat, dia membuka cabang kedua dan seterusnya. Dengan demikian, makin banyak manfaat yang bisa ia berikan kepada orang lain seiring perkembangan usahanya.
Mitos-mitos negatif, misalnya berbisnis harus ada bakat, harus mendapatkan bimbingan dan pendidikan, atau banyak resiko dapat menghambat seseorang untuk memulai usaha. Di sinilah pentingnya keberanian dan kepercayaan diri untuk membuat langkah pertama. "Maju dulu, pikir belakangan", canda Cak Eko. Nah, untuk meminimalisasi kegagalan, ada beberapa tips yang Cak Eko berikan: (1) harus kuat dalam menjaga impian, (2) mencari tempat curhat/komunitas yang tepat, (3) mulai dari bisnis yang kecil.
Sebagai penutup, ada lima poin pesan Cak Eko bagi (calon-calon) wirausahawan muda. Bermimpilah. Yakinlah bahwa mimpi tersebut bisa terwujud dengan bantuan visualisasi dan afirmasi (doa). Bersabarlah. Bentuklah sistem. Dan yang paling penting, jangan lupa bersedekah.
***
Berbeda dengan Cak Eko yang lulusan Teknik Sipil, tapi berbisnis kuliner, Mita memilih untuk membangun bisnis berbekal ilmu yang ia peroleh di bangku kuliah. Mita, lulusan Oseanografi, bersama timnya memproduksi turbin arus air laut. Inilah yang dikenal dengan istilah technopreneur - technology-entrepreneur. Untuk menyiasati ketiadaan modal awal yang pastinya besar, Mita mengajukan proposal, antara lain ke Dikti dan Bank Mandiri. Mita membuktikan, jika sudah ada niat yang kuat dan semangat yang menyala, jalan apa pun bisa digunakan untuk mendukung langkah awal (asal halal ya :p).
***
Sesi ketiga adalah sesi yang paling heboh dan banyak mengundang tawa 800-an peserta yang memadati ruangan. Apa lagi kalau bukan sesi Pak Dahlan Iskan. Beliau mengawalinya dengan mengatakan bahwa usia 35-36 adalah usia puncak produktivitas. Pada awal usia 20-an, seseorang masih mencari-cari jalan mana yang terbaik. Di usia 27-28, dia sudah tahu akan berjalan ke mana. Kemudian usia 30-35 adalah masa produktif maksimum. Karena itu, jangan sampai terlambat. Memulai bisnis lebih awal itu lebih baik.
Untuk urusan modal, Pak Dahlan mendorong untuk memanfaatkan apa yang kita punya. "Jangan berpikir ada yang akan memberi modal untuk latihan bisnis, kecuali dari orang tua atau (calon) mertua. Punya jam tangan, jual. Punya hp, jual. Mulai bisnis dari yang kecil, misalnya jualan jilbab, jualan pulsa, jualan hp." "Dalam bisnis tidak ada yang salah. Semua benar. Yang salah adalah yang tidak melakukan."
Terkait dengan entrepreneurial leadership, saat pertama kali terjun ke dunia bisnis, semua pasti ditangani sendiri, Dia memimpin dirinya sendiri. Bertahap, pendelegasian terjadi dan persentase kepemimpinan menurun. Jika tinggal 30%, perusahaan sudah memiliki corporate culture sehingga tidak lagi bergantung kepada karakter pemimpinnya.
Dalam bisnis, persaingan antara A dan B, tidak harus berakhir A kalah atau B kalah. Bisa saja C yang kalah. Merk sabun cuci R***o dan S****n bersaing, tapi yang kalah bukan salah satunya, tapi sabun cuci batangan. Terkait persaingan di dunia global, kita harus pandai melihat kebutuhan pihak lain, dibanding kuat-kuatan mengadu otot. Indonesia dan Cina, misalnya. Cina memang bisa membuat barang yang Indonesia tidak bisa buat. Namun sebaliknya, Indonesia menghasilkan buah tropis yang tidak bisa tumbuh di Cina. Jadikan kekurangan lawan sebagai kelebihan kita.
Setiap orang butuh momentum untuk berubah. Bagi Pak Dahlan, momentum itu adalah merantau keluar dari desa. Selain itu, Pak Dahlan juga membahas tentang sakit hati yang justru dapat menjadi sumber motivasi dan kekuatan untuk melakukan apa yang sebelumnya orang lain cemooh. Jangan sampai sakit hati itu malah menurunkan semangat. Jangan biarkan siapa pun merampas dan membunuh mimpi kita. "Lakukan apa yang ingin anda lakukan."
***
Pembicara terakhir adalah Bong Chandra. Bong menekankan pentingnya untuk menjadi master di bidang kita. "Saya tidak takut dengan orang yang belajar 1000 jurus tendangan 1 kali, tapi saya takut dengan orang yang belajar 1 jurus tendangan 1000 kali (Pepatah Cina)". Be very good at what you do.
Belajar dari Steve Jobs, kejutkan konsumen, daripada dengarkan konsumen. Mengapa? Karena konsumen sebenarnya tidak tahu apa yang mereka inginkan sampai kita tunjukkan (apa yang mereka inginkan). "Think out of the box, but execute inside the box.", Bong mengutip perkataan Yoris Sebastian. Boleh berpikir seliar mungkin, asal pewujudannya tetap masuk akal.
Bong bercerita tentang pengalamannya sendiri saat menjalankan bisnis propertinya. Ia kemudian belajar untuk curiga dengan yang murah. Dalam bisnis, tidak ada yang murah atau instan. Kalau ada tawaran demikian, kemungkinan besar ada maksud tersembunyi di baliknya. Be aware!
Begitu ada keinginan untuk memulai bisnis, segeralah bertindak. Penundaan hanya akan menumbuh suburkan keraguan dan kepesimisan. "Bergeraklah lebih cepat dari rasa pesimis Anda.", kata Bong. Sepertinya ini sangat mengena untuk saya *curhat :p*.
Sentuhan emosional sangatlah penting dalam bisnis, tidak hanya produk atau jasa yang kita tawarkan. Bong menyebutnya 'Hightech vs. Hightouch'. Mungkin ini termasuk juga dalam konsep consumer-oriented ya? *malah nanya*
"Menjalankan yang kita sukai adalah berkah. Menjalankan yang tidak kita sukai, tapi lebih baik dari orang lain adalah profesionalisme." - Bong Chandra
***
Seminar ditutup Adenita dengan sebuah kuis berhadiah buku 23 Episentrum. Meski sudah siang, peserta tetap antusias menjawab pertanyaan yang diajukan. Salut.
Begitu banyak ilmu yang didapat dari para pembicara hari ini. Semoga ke depan semakin banyak wirausahawan muda Indonesia yang akan turut memperkuat perekonomian nasional. Aamiin.
Begitu banyak ilmu yang didapat dari para pembicara hari ini. Semoga ke depan semakin banyak wirausahawan muda Indonesia yang akan turut memperkuat perekonomian nasional. Aamiin.
0 Comments