Dalam sebuah seminar tentang Ekonomi berlandaskan Pengetahuan (Knowledge-based Economy) di Aula Timur ITB, Duta Besar Finlandia, H.E. Mr. Kai Sauer, berkata inovasi tumbuh bila tiga unsur terpenuhi: pola pikir (can do or die ala Finlandia), software (intelektual), dan hardware (fasilitas dan infrastruktur). Software, apalagi hardware, relatif mudah untuk dicapai, tetapi tidak untuk pola pikir. Apakah resep sukses Finlandia yang bisa diterapkan di Indonesia? Dengan lugas Mr. Sauer menjawab, “Pendidikan.”
Guru: Profesi menarik di
Finlandia
Menarik saat Mr. Sauer
mengatakan bahwa masyarakat Finlandia sangat menghargai pendidikan, tepatnya
berorientasi kepada pendidikan (education-oriented). Di sana, semua guru
harus lulusan S2, baik guru sekolah dasar maupun menengah. Selain itu,
pelatihan mengenai pedagogi diberikan untuk para calon guru.
Menjadi guru bukanlah
pilihan terakhir, melainkan profesi idaman banyak lulusan SMA. Persaingan untuk
masuk ke sistem pendidikan guru sekolah dasar sangatlah ketat; hanya 10% dari
total pelamar yang lulus seleksi. Tentunya yang terbaiklah yang dipilih.
Gaji guru yang berada di
atas rata-rata OECD (Organisation for Economic Co- operation and Development)
membuat para guru bekerja dengan performa terbaik mereka, tanpa harus
memikirkan kesejahteraan diri dan keluarga. Hal ini juga membuat profesi guru
sangat menarik dan menjanjikan.
Standar kualifikasi guru di
Indonesia: Satu langkah lebih baik
Menurut Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional RI No.16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik
dan Kompetensi Guru, guru sekolah dasar dan menengah harus memiliki kualifikasi akademik minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana
(S1). Peraturan ini merupakan langkah maju untuk meningkatkan kualitas
pendidikan Indonesia. Hanya saja dalam tataran pelaksanaan, dibutuhkan komitmen
dan konsistensi dari pemerintah. Sampai saat ini baru 25% guru SD yang memenuhi
kualifikasi tersebut.
Kuliah reguler di lembaga pendidikan
dan tenaga kependidikan (LPTK) atau di Universitas Terbuka (UT) yang jadwalnya
lebih fleksibel menjadi pilihan. Meskipun demikian, kendala dihadapi oleh guru
yang tidak bisa meninggalkan tugas mengajar. Kebijakan pengakuan pengalaman
kerja dan hasil belajar (PPKHB) merupakan solusi yang disediakan pemerintah
untuk mempercepat kualifikasi. Melalui kebijakan ini, pengalaman kerja dan
hasil diklat guru diperhitungkan sebagai SKS sehingga nantinya beban SKS saat
guru berkuliah di di LPTK/UT bisa dikurangi.
Meski pemerintah telah
merancang mekanisme pelaksanaan PerMen No.16 Tahun 2007 tersebut, sesungguhnya
yang menentukan mutu guru adalah mutu pendidikan guru itu sendiri, bukan
pemilikan titel diploma-IV atau sarjana S1. Pemerintah harus memastikan bahwa
proses yang ditempuh untuk mencapai kualifikasi yang ditentukan – termasuk di
antaranya kualitas LPTK dan UT – benar-benar mampu meningkatkan kualitas guru.
Kita pasti sudah mafhum, proses yang instan biasanya berujung pada hasil yang
kurang optimal. Apalah artinya gelar diploma-IV atau sarjana S1 bila tidak ada
perubahan yang berarti dalam pengajaran di kelas.
Minat menjadi guru:
Berkorelasi positif dengan gaji?
Seperti berita yang
dilansir oleh kompas.com, Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menyatakan
ada peningkatan jumlah peserta ujian tulis SNMPTN tahun 2012 sejumlah 200 ribu
orang. Hal ini berimplikasi pada bertambahnya jumlah mahasiswa baru UNJ menjadi
sekitar 2,171 mahasiswa dari tahun sebelumnya, yakni 1,793 mahasiswa. Program
studi Pendidikan Guru SD (PGSD) termasuk yang terfavorit, di samping Psikologi.
Hal serupa juga dialami oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP)
Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Uhamka). Jumlah mahasiswa baru tahun
2011 bertambah 600 ribu menjadi 2,105 orang.
Kebutuhan akan guru SD
menyebabkan mahasiswa PGSD sudah “dipesan” sebelum lulus. Mereka diminta untuk
mengisi lowongan di berbagai daerah. Dekan FKIP Uhamka mengakui banyaknya
peminat terkait dengan Undang-Undang No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Selain itu, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan mengharuskan guru SD merupakan lulusan dari PGSD karena guru SD
adalah guru kelas yang harus mampu menguasai semua bidang, berbeda dengan guru
sekolah menengah.
Meningkatnya minat untuk
menjadi guru SD tentu perlu diapresiasi secara positif. Dengan begitu,
logikanya persaingan untuk masuk program studi PGSD akan semakin ketat,
standarnya naik, sehingga kualitas masukan (input) semakin tinggi pula. Bila
diasumsikan tidak ada perubahan pada kurikulum pendidikan guru, idealnya mutu
calon guru lulusan PGSD akan semakin baik.
Sayangnya, peningkatan
minat ini ada kemungkinan didorong oleh motif pemenuhan kebutuhan finansial.
Menurut Dekan FKIP Uhamka, calon mahasiswa memilih program studi PGSD karena
sekarang guru SD bisa cepat menjadi PNS, mendapat tunjangan daerah, hingga sertifikasi.
Gaji (take home pay) guru bahkan bisa mencapai Rp 6 juta per bulan.
Memang tidak ada yang salah
bila ketertarikan menjadi guru dipengaruhi oleh tersedianya jaminan
kesejahteraan bagi diri dan keluarga. Justru jaminan tersebut diharapkan akan
membuat guru lebih fokus dalam bekerja, seperti di Finlandia. Yang perlu
dikhawatirkan adalah saat ‘finansial’ menjadi alasan utama. Idealisme untuk
mencerdaskan bangsa bisa jadi akan ternodai oleh motivasi untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Percuma saja menaikkan gaji guru bila kualitas pendidikan di
Indonesia tidak juga terdongkrak.
Menuju sistem pendidikan
nasional yang lebih baik
Saya yakin kita semua
mengharapkan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Indeks Pembangunan
Manusia (Human Development Index) yang dikeluarkan oleh UNDP tahun 2011
menempatkan Indonesia pada posisi ke-124, di bawah Filipina (112), Thailand
(103), Malaysia (61), apalagi Singapura (26). Finlandia bahkan lebih unggul di
posisi ke-22. Indeks ini membandingkan usia harapan hidup, literasi,
pendidikan, dan standar hidup 185 negara di dunia.
Tertinggal dari
negara-negara di kawasan ASEAN, Indonesia harus terus-menerus melakukan
perbaikan di berbagai bidang, termasuk pendidikan. Kualitas guru hanyalah satu
aspek dari sistem pendidikan nasional. Kualitas kurikulum, infrastruktur
sekolah, hingga pemerataan pendidikan sampai ke daerah terujung di Indonesia
juga membutuhkan reformasi nyata.
Finlandia sebagai salah satu negara dengan kualitas pendidikan
terbaik di dunia telah banyak dijadikan rujukan perbaikan sistem pendidikan
oleh negara-negara lain. Belajar dari Finlandia bukan berarti menganggap
mereka tanpa cela. Bagaimanapun kita harus menyesuaikan kebijakan pendidikan
mereka dengan situasi dan kondisi yang ada di Indonesia saat ini, serta
menyelaraskannya dengan arah dan tujuan pendidikan nasional.
Yang perlu kita cermati adalah Finlandia telah memulai reformasi
pendidikan di negaranya sejak tahun 1970-an. Hasil yang kita lihat sekarang
merupakan buah dari program jangka panjang yang konsisten dan sistematis selama
30 tahun. Apakah pemerintah Indonesia dapat meniru kegigihan pemerintah
Finlandia? Semoga dengan mengambil hikmah dari keberhasilan Finlandia,
Indonesia semakin mantap dalam menapaki jalan menuju sistem pendidikan nasional
yang lebih baik.
Referensi:
Gambar diambil dari sini.
0 Comments